Sabtu, 13 November 2010

Matinya Partai Politik

Akhirnya enam dari 26 tersangka kasus dugaan suap pemberian cek perjalanan kepada anggota Dewan Perwakilan Rakyat, terkait pemilihan Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia tahun 2004, menggugat balik Komisi Pemberantasan Korupsi (Kompas, 2/11/2010). Bila dicermati secara seksama apa yang dilakukan enam orang politisi yang kesemuanya berasal dari PDI-P periode 1999-2004 itu menunjukkan upaya perlawanan balik mereka atas penetapan status sebagai tersangka oleh KPK beberapa waktu lalu. Gugatan enam politisi PDI-P tersebut dilakukan melalaui kuasa hukum mereka Petrus Selestinus dari Tim Pembela Demokrasi (TPDI) yang seolah mendapatkan inspirasi dari apa yang lebih dahulu dilakukan oleh Sekretaris Fraksi PDI-P di periode yang sama, yakni Panda Nababan yang juga ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus cek perjalanan. Perlawanan mantan Sekretaris Fraksi PDI-P itu dilakukan dengan cara melaporkan ke Komisi Yudisial (KY), dan KOMNAS HAM lima hakim tipikor Jakarta yang telah menjatuhkan vonis 2 tahun penjara terhadap Bendahara Fraksi PDI-P Dhudie Makmun Murod.

Pelaporan politisi senior PDI-P Panda Nababan itu kepada beberapa komisi negara dilakukan karena putusan Pengadilan TIPIKOR Jakarta dianggap telah memanipulasi fakta yang kemudian menyeret dirinya menjadi tersangka dalam kasus suap cek perjalanan untuk pemenangan Deputi Gubernur Senior BI, Miranda Gultom. Namun berbeda dengan Panda Nababan, Perlawanan balik yang dilakukan oleh 6 politisi PDI-P tersebut di atas ternyata jauh lebih “progresif”, karena bukan hanya menggugat KPK, tetapi juga menggugat partainya sendiri (PDI-P), dan beberapa aktor lain yang dianggap telah menghantarkannya berstatus tersangka dihadapan KPK. Perlawanaan balik ini sudah sewajarnya bila direspon secara positip oleh KPK, karena tindakan tersebut akan menguji profesionalitas KPK sebagai komisi yang bekerja dengan bukti yang kuat dan meyakinkan, tanpa sedikitpun tendensi kebencian personal dalam menangani kasus hukum tersebut. Bila KPK berhasil merespon gugatan balik para tersangka tersebut, maka tentu saja KPK akan semakin dicintai dan didukung oleh civil society serta para pencari keadilaan di negeri ini.

Gugatan enam politisi PDI-P terhadap partai yang telah “melambungkan” namanya sebagai legislator dan sekaligus “menjungkalkan” namanya menjadi tersangka korupsi ini tidak bisa dipersalahkan dari kacamata rendahnya sikap loyalitas mereka terhadap partai, gugatan mereka sebaiknya dipahami sebagai upaya untuk memperjelas hubungan yang sehat antara partai dan diri mereka sebagai politisi atau fungsionaris partai. Dasar dari apa yang mereka lakukan tentunya adalah penegasan yang telah dilansir oleh Ketua Fraksi PDI-P Tjahjo Kumolo saat dimintai keterangan oleh KPK, yaitu bahwa memang ada pengarahan partai untuk memilih Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia (BI), meskipun pernyataan tersebut mendapat bantahan telak dari Agus Condro (Kompas, 27/10/2010) yang jelas-jelas menyebutkan bahwa Ketua Fraksi PDI-P menyebutkan dengan jelas imbalan sebanyak Rp 300.000.000, bahkan Rp. 500.000.000, bila memilih Miranda Goeltom sebagai Deputi Gubernur Senior BI 2004. Reaksi TPDI yang mewakili para kliennya tersebut sesungguhnya adalah pelajaran berharga bagi proses pematangan PDI-P sebagai institusi politik modern. Mengorbankan begitu saja politisi partai sendiri atas alasan “garis kebijakan partai” tentu saja akan kontraproduktif bagi PDI-P, terlebih bila kesaksian Agus Condro menunjukkan kebenarannya, hal ini semakin menunjukkan lemahnya payung tanggung jawab PDI-P kepada para anggotanya.

Tentu saja sikap enam politisi PDI-P yang menggugat partainya ini tidak bisa disetarakan dengan rekan-rekan politisi mereka dari fraksi partai yang berbeda, sebagaimana dialami Endin Soefi Hara anggota Komisi IX dari Fraksi PPP yang lebih dahulu telah divonis 2 tahun oleh Pengadilan TIPIKOR Jakarta, Dhudi Makmun Murod dari Fraksi PDI-P, serta Udju Djuhaerri dari Fraksi TNI/Polri, karena keterlibatan politisi tersebut tidak ada arahan resmi dari partainya masing-masing. Keterjerembaban mereka pada kasus suap check perjalanan dapat dinyatakan sebagai “inisiatif pribadi” yang tak memiliki keterkaiatan dengan garis kebijakan resmi partai. Pernyataan ini seperti dikuatkan oleh beberapa tersangka lainnya dari Fraksi PPP yang menyatakan bahwa mereka tidak Mengenal Ari Malangjudo, Nunun Nurbaety, bahkan mereka tidak memilih Miranda Goeltom Swaray dalam proses pemilihan sebagai Deputi Gubernur Senior BI 2004 tersebut, namun mereka menerima uang tidak jelas itu ke dalam sakunya.

Upaya KPK untuk menyelesaikan kasus check perjalanan ini sangat ditunggu-tunggu masyarakat pencinta keadilan. Berbagai komunitas facebooker juga berharap KPK bisa melalui berbagai macam ujian dan perlawanan yang diarahkan kepadanya. Dihadapan hukum sudah selayaknya jika setiap orang dinyatakan sama sebagaimana prinsip equality before the law. Seandainya KPK bertukuk lutut pada “tekanan politik” dan permainan yang dilakukan berbagai elit politik dan agen-agen kekuasaan lain, maka cita-cita untuk membangun masyarakat yang berkeadilan akan semakin lenyap dari proyek kebangsaan kita. Kendati demikian muncul pemikiran bagaimana sangsi hukum yang dikenakan kepada partai politik apa bila secara nyata dan meyakinkan suatu partai politik melakukan praktek criminal, baik itu suap untuk pemenangan Presiden, Gubernur, Bupati, dsb.

Dalam kasus di atas bukan saja menunjukkan adanya masalah pelik yang dihadapi partai politik, namun hal ini juga memiliki dampak yang serius terhadap bangunan tatanan demokrasi yang tengah kita wujudkan. Membebaskan partai berbuat kriminal baik terhadap anggotanya maupun masyarakat dan negara sebagaimana dipapar di atas akan membuahkan kekuatan tirani baru yang berlawanan dengan semangat negara hukum yang sejak awal telah kita sepakati sebagai tatanan bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Oleh sebab itu, masalah ini menjadi agenda penting yang secepatnya harus dipecahkan pemerintah, partai politik, dan civil society, jika tidak, maka peristiwa yang sama akan terulang lagi.

Dalam hukum perdata jika sebuah organisasi dagang dapat bubar setelah dinyatakan pailit oleh hakim, maka mengapa pengadilan tidak menyatakan “pailit” terhadap partai politik yang nyata-nyata telah “gulung tikar” dalam menegakkan kepatutan berpolitik. Demikian juga pengalaman sejarah mengajarkan kepada kita bahwa melalui formulasi hukum yang kita sepakati pemerintah ataupun elemen civil society bisa saja mendesak pentingnya pengaturan berbagai persoalan yang disinggung di atas agar diakomodir dalam rumusan UU Partai Politik atau aturan hukum lainnya sehingga tren menuju kehidupan politik yang lebih sehat dapat terwujud di masa datang.